Rabu, 10 Desember 2014

Askep Keperawatan Typus Abdominalis


ASUHAN KEPERAWATAN TYPUS ABDOMINALIS

A.    Konsep Dasar
I.       Pengertian
Thypoid fever/demam tifoid atau thypus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (T.H. Rampengan dan I.R. Laurentz, 1995). Penularan penyakit ini hampir selalu terjadi melalu




i makanan dan minuman yang terkontaminasi.
II.    Anatomi fisiologi
Susunan saluran pencernaan terdiri dari : Oris (mulut), faring (tekak), esofagus (kerongkongan), ventrikulus (lambung), intestinum minor (usus halus),  intestinum mayor (usus besar ), rektum dan anus.    Pada kasus demam tifoid, salmonella typi berkembang biak di usus halus (intestinum minor). Intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada pilorus dan berakhir pada seikum, panjangnya ±  6 cm, merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan absorbsi hasil pencernaan yang terdiri dari  :  lapisan usus halus, lapisan mukosa  (sebelah dalam), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang (muskulus longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar).
       Usus halus terdiri dari duodenum (usus 12 jari), yeyenum dan ileum.   Duodenum disebut juga usus dua belas jari, panjangnya ± 25 cm, berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri pada lengkungan ini terdapat pankreas.  Dari bagian kanan duodenum ini terdapat selapu t lendir yang membukit yang disebut papila vateri.  Pada papila vateri ini bermuara saluran empedu (duktus koledikus) dan saluran pankreas (duktus wirsung/duktus pankreatikus).   Dinding duodenum ini mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar, kelenjar ini disebut kelenjar brunner yang berfungsi untuk memproduksi getah intestinum.
        Yeyenum dan ileum mempunyai panjang sekitar ±  6 meter.  Dua perlima bagian atas adalah yeyenum dengan panjang ± 23 meter dari ileum dengan panjang 4 – 5 m.  Lekukan yeyenum dan ileum  melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritonium yang berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium.
Akar mesenterium memungkinkan keluar dan masuknya cabang-cabang arteri dan vena mesenterika superior, pembuluh limfe dan saraf ke ruang antara 2 lapisan peritonium yang membentuk mesenterium.  Sambungan antara yeyenum dan ileum tidak mempunyai batas yang tegas.
Ujung dibawah ileum berhubungan dengan seikum dengan perantaraan lubang yang bernama orifisium ileoseikalis.  Orifisium ini diperlukan oleh spinter ileoseikalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula seikalis atau valvula baukhim yang berfungsi untuk mencegah cairan dalam asendens tidak masuk kembali ke dalam ileum.
Mukosa usus halus.  Permukaan epitel yang sangata luas melalui lipatan mukosa dan mikrovili memudahkan pencernaan dan absorbsi.  Lipatan ini dibentuk oleh mukosa dan sub mukosa yang dapat memperbesar permukaan usus.  Pada penampang melintang vili dilapisi oleh epitel dan kripta yag menghasilkan bermacam-macam hormon jaringan dan enzim yang memegang peranan aktif dalam pencernaan.
Didalam dinding mukosa terdapat berbagai ragam sel, termasuk banyak leukosit.  Disana-sini terdapat beberapa nodula jaringan limfe, yang  disebut kelenjar soliter.  Di dalam ilium terdapat kelompok-kelompok nodula itu.  Mereka membentuk tumpukan kelenjar peyer dan dapat berisis 20 sampai 30 kelenjar soliter yang panjangnya satu  sentimeter  sampai beberapa sentimeter.  Kelenjar-kelenjar ini mempunyai fungsi melindungi dan merupakan tempat peradangan pada demam usus (tifoid).  Sel-sel Peyer’s  adalah sel-sel dari jaringan limfe dalam membran mukosa.  Sel tersebut lebih umum terdapat pada ileum daripada yeyenum.  ( Evelyn  C. Pearce, 2000)
Absorbsi. Absorbsi makanan yang sudah dicernakan seluruhnya berlangsung dalam usus halus melalui dua saluran, yaitu pembuluh kapiler dalam darah dan saluran limfe di sebelah dalam permukaan vili usus.  Sebuah vili berisis lakteal, pembuluh darah epitelium dan jaringan otot yang diikat bersama jaringan limfoid seluruhnya diliputi membran dasar dan ditutupi oleh epitelium.
Karena vili keluar dari dinding usus maka bersentuhan dengan makanan cair dan lemak yang di absorbsi ke dalam lakteal kemudian berjalan melalui pembuluh limfe masuk ke dalam pembuluh kapiler darah di vili dan oleh vena porta dibawa ke hati untuk mengalami beberapa perubahan.
Fungsi usus halus
a.       Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui kapiler-kapiler darah dan saluran – saluran limfe.
b.      Menyerap protein dalam bentuk  asam amino.
c.       Karbohidrat diserap dalam betuk monosakarida.
Didalam usus halus terdapat kelenjar yang menghasilkan getah usus yang menyempurnakan makanan.
a.       Enterokinase, mengaktifkan enzim proteolitik.
b.      Eripsin menyempurnakan  pencernaan protein menjadi asam amino.
1.      Laktase mengubah laktase menjadi monosakarida.
2.      Maltosa mengubah maltosa menjadi monosakarida
Sukrosa mengubah sukrosa menjadi monosakarida
III.      Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Samonella Thposa/Eberthela Thyposa  dan salmonella Parattyphi A, B dan C yang merupakan kuman negatif, motil dan tidak menghasilkan spora, hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang lebih rendah sedikit serta mati pada suhu 700C dan antiseptik. Salmonella mempunyai tiga macam antigen, yaitu Antigen O= Ohne Hauch=somatik antigen (tidak menyebar) ada dalam dinding sel kuman, Antigen H=Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil dan Antigen Vi=kapsul ; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis. Ketiga jenis antigen ini di manusia akan menimbulkan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.

IV.      Patofisiologi.
Kuman salmonella masuk bersama makanan/minuman yang terkontaminasi, setelah berada dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama plak peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah (bakteremia primer) menuju organ retikuloendotelial sistem (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk ke darah menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi usus. Dalam masa bakteremia ini kuman mengeluarkan endotoksin. Endotoksin ini merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di hipothalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam.
Makrofag pada pasien akan menghasilkan substansi aktif yang disebut monokines yang menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang imun sistem, instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang dan panas. Infiltrasi jaringan oleh makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosist sudah berdegenerasi yang dikenal sebagai tifoid sel. Bila sel ini beragregasi maka terbentuk nodul terutama dalam  usus halus, jaringan limfe mesemterium, limpa, hati, sumsum tulang dan organ yang terinfeksi.
Kelainan utama yang terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu I), nekrosis (minggu II) dan ulserasi (minggu III). Pada dinding ileum terjadi ulkus yang dapat menyebabkan perdarahan atau perforasi intestinal. Bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut.
Secara singkat skema patogenesis sampai menimbulkan masalah keperawatan :






Makanan/minuman tercemar : S. thyposa
 


 

















V.         Gejala klinis
Masa inkubasi 7-20 hari, inkubasi terpendek 3 hari dan terlama 60 hari (T.H. Rampengan dan I.R. Laurentz, 1995). Rata-rata masa inkubasi 14 hari dengan gejala klinis sangat bervariasi dan tidak spesifik (Pedoman Diagnosis dan Terapi, Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 1994).
Walaupun gejala bervariasi secara garis besar gejala yang timbul dapat dikelompokan dalam : demam satu minggu atau lebih, gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Dalam minggu pertama : demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi dan suhu badan meningkat (39-410C). Setelah minggu kedua gejala makin jelas berupa demam remiten, lidah tifoid dengan tanda antara lain nampak kering, dilapisi selaput tebal, dibagian belakang tampak lebih pucat, dibagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Pembesaran hati dan limpa, perut kembung dan nyeri tekan pada perut kanan bawah dan mungkin disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat seperti delirium.
Roseola (rose spot), pada kulit dada atau perut terjadi pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua. Merupakan emboli kuman dimana di dalamnya mengandung kuman salmonella.

VI.      Pemeriksaan diagnostik dan hasil
1.      Jumlah leukosit normal/leukopenia/leukositosis.
2.      Anemia ringan, LED meningkat, SGOT, SGPT dan fsofat alkali meningkat.
3.      Minggu pertama biakan darah S. Typhi positif, dalam minggu berikutnya menurun.
4.      Biakan tinja positif dalam minggu kedua dan ketiga.
5.      Kenaikan titer reaksi widal 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang memastikan diagnosis. Pada reaksi widal titer aglutinin O dan H meningkat sejak minggu kedua. Titer reaksi widal diatas 1 : 200 menyokong diagnosis.

VII.   Komplikasi.
Perdarahan intestinal, perforasi intestinal, ileus paralitik, renjatan septik, pielonefritis, kolesistisis, pneumonia, miokarditis, peritonitis, meningitis, ensefalopati, bronkitis, karir kronik.

VIII.Penatalaksanaan
a.       Tirah baring atau bed rest.
b.      Diit lunak atau diit padat rendah selulosa (pantang sayur dan buahan), kecuali komplikasi pada intestinal.
c.       Obat-obat Antimikroba :
-          Kloramfenikol 4 X 500 mg sehari/iv
-          Tiamfenikol 4 X 500 mg sehari oral
-          Kotrimoksazol 2 X 2 tablet sehari oral (1 tablet = sulfametoksazol 400 mg + trimetoprim 80 mg) atau dosis yang sama iv, dilarutkan dalam 250 ml cairan infus.
-          Ampisilin atau amoksisilin 100 mg/kg BB sehari oral/iv, dibagi dalam 3 atau 4 dosis.
Antimikroba diberikan selama 14 hari atau sampai 7 hari bebas demam.
d.      Antipiretik seperlunya
e.       Vitamin B kompleks dan vitamin C
f.       Mobilisasi bertahap setelah 7 hari bebas demam.



B.     Asuhan Keperawatan
I.       Pengkajian
a.       Pengumpulan data
1)      Identitas klien
Meliputi nama,, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa medik.
2)      Keluhan utama
Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak turun-turun, nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta penurunan kesadaran.
3)      Riwayat penyakit sekarang
Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi  ke dalam tubuh.
4)      Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pernah sakit demam tifoid.
5)      Riwayat penyakit keluarga
Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.
6)      Riwayat psikososial dan spiritual
Biasanya klien cemas, bagaimana koping mekanisme yang digunakan.  Gangguan dalam beribadat karena klien tirah baring total dan lemah.
7)      Pola-pola fungsi kesehatan
a)      Pola nutrisi dan metabolisme
Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan muntah  saat makan  sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak makan  sama sekali.
b)      Pola eliminasi
Eliminasi alvi.  Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring lama.  Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna urine menjadi kuning kecoklatan.   Klien dengan demam tifoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak keluar dan merasa haus, sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh. 
c)      Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar tidak terjadi komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.
d)     Pola tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.
e)      Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan penyakitnya dan ketakutan merupakan dampak psikologi klien.
f)       Pola sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham pad klien. 
g)      Pola hubungan dan peran
Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat di rumah sakit dan klien harus bed rest total.
h)      Pola reproduksi dan seksual
Gangguan  pola ini terjadi pada klien yang sudah menikah karena harus dirawat di rumah sakit sedangkan yang belum menikah tidak mengalami gangguan.
i)        Pola penanggulangan stress
Biasanya klien sering melamun dan merasa sedih karena keadaan sakitnya.
j)        Pola tatanilai dan kepercayaan
Dalam hal beribadah biasanya terganggu karena bedrest total dan tidak boleh melakukan aktivitas karena penyakit yang dideritanya saat ini.
8)      Pemeriksaan fisik
a)      Keadaan umum
Didapatkan  klien   tampak   lemah,   suhu   tubuh   meningkat     38 – 410 C, muka kemerahan.
b)      Tingkat kesadaran
Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).
c)      Sistem respirasi
Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan gambaran seperti bronchitis.
d)     Sistem kardiovaskuler
Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin rendah.
e)      Sistem integumen
Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut agak kusam
f)       Sistem gastrointestinal
Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas), mual, muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak, peristaltik usus meningkat.
g)      Sistem muskuloskeletal
Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.
h)      Sistem abdomen
Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi lunak serta nyeri tekan pada abdomen.  Pada perkusi didapatkan perut kembung serta pada auskultasi peristaltik usus meningkat.
9)      Pemeriksaan penunjang
a)      Pemeriksaan darah tepi
Didapatkan adanya anemi oleh karena intake makanan yang terbatas, terjadi gangguan absorbsi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum dan penghancuran sel darah merah dalam peredaran darah.  Leukopenia dengan jumlah lekosit antara 3000 – 4000 /mm3 ditemukan pada fase demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran lekosit oleh endotoksin.  Aneosinofilia yaitu hilangnya eosinofil dari darah tepi.  Trombositopenia terjadi pada stadium panas yaitu pada minggu pertama.  Limfositosis umumnya jumlah limfosit meningkat akibat rangsangan endotoksin.  Laju endap darah meningkat.
b)      Pemeriksaan urine
Didaparkan proteinuria ringan ( < 2 gr/liter) juga didapatkan peningkatan lekosit dalam urine.
c)      Pemeriksaan tinja
Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya perdarahan usus dan perforasi.
d)     Pemeriksaan bakteriologis
Diagnosa pasti ditegakkan  apabila ditemukan kuman salmonella dan biakan darah tinja, urine, cairan empedu atau sumsum tulang.
e)      Pemeriksaan serologis
Yaitu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin ).  Adapun antibodi  yang dihasilkan tubuh akibat infeksi kuman salmonella adalah antobodi O dan H.   Apabila titer antibodi O adalah 1 : 20 atau lebih pada minggu pertama atau terjadi peningkatan titer antibodi yang progresif (lebih dari 4 kali).  Pada pemeriksaan ulangan 1 atau 2 minggu kemudian menunjukkan diagnosa  positif dari infeksi Salmonella typhi.  
f)       Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau komplikasi akibat demam tifoid.

II.    Diagnosa Keperawatan
a.       Hipertermi berhubungan dengan gangguan hipothalamus oleh pirogen endogen.
b.      Diare berhubungan dengan infeksi pada saluran intestinal
c.       Resiko tinggi kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
d.      Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan adanya salmonella pada tinja dan urine.
e.       Konstipasi berhubungan dengan invasi salmonella pada mukosa intestinal.



B.     Perencanaan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Perencanaan Keperawatan
Tujuan dan criteria hasil
Intervensi
Rasional
Hipertermi berhubungan dengan gangguan hipothalamus oleh pirogen endogen.

Suhu tubuh akan kembali normal, keamanan dan kenyaman pasien dipertahankan selama pengalaman demam dengan kriteria suhu antara 366-373 0C, RR dan Nadi dalam batas normal, pakaian dan tempat tidru pasien kering, tidak ada reye syndrom, kulit dingin dan bebas dari keringat yang berlebihan
1.      Monitor tanda-tanda infeksi

2.      Monitor tanda vital tiap 2 jam




3.      Kompres dingin pada daerah yang tinggi aliran darahnya
4.      Berikan suhu lingkungan yang nyaman bagi pasien. Kenakan pakaian tipis pada pasien.
5.      Monitor komplikasi neurologis akibat demam
6.      Atur cairan iv sesuai order atau anjurkan intake cairan yang adekuat.
7.      Atur antipiretik, jangan berikan aspirin
Infeksi pada umumnya menyebabkan peningkatan suhu tubuh
Deteksi resiko peningkatan suhu tubuh yang ekstrem, pola yang dihubungkan dengan patogen tertentu, menurun idhubungkan denga resolusi infeksi
Memfasilitasi kehilangan panas lewat konveksi dan konduksi
Kehilangan panas tubuh melalui konveksi dan evaporasi


Febril dan enselopati bisa terjadi bila suhu tubuh yang meningkat.
Menggantikan cairan yang hilang lewat keringat


Aspirin beresiko terjadi perdarahan GI yang menetap.


Diare berhubungan dengan infeksi pada saluran intestinal

Pasien akan kembali normal pola eliminasinya dengan kriteria makan tanpa muntah, mual, tidak distensi perut, feses lunak, coklat dan berbentuk, tidak nyeri atau kram perut.
1.      Ukur output

2.      Kompres hangat pada abodmen
3.      Kumpulkan tinja untuk pemeriksaan kultur.
4.      Cuci dan bersihkan kulit di sekitar daerah anal yang terbuka sesering mungkin
Menggantikan cairan yang hilang agar seimbang
Mengurangi kram perut (hindari antispasmodik)
Mendeteksi adanya kuman patogen

Mencegah iritasi dan kerusakan kulit
Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan adanya salmonella pada tinja dan urine.

Pasien akan bebas infeksi dan komplikasi dari infeksi salmonella dengan kriteria tanda vital dalam batas normal, kultur darah, urine dan feses negatif, hitung jenis darah dalam bataas normal, tidak ada perdarahan.
1.          Kumpulkan darah, urine dan feses untuk pemeriksaan sesuai aturan.
2.          Atur pemberian agen antiinfeksi sesuai order.


3.          Pertahankan enteric precaution sampai 3 kali pemeriksaan feses negatif terhadap S. Thypi
4.          Cegah pasien terpapar dengan pengunjung yang terinfeksi atau petugas, batasi pengunjung
5.          Terlibat dalam perawatan lanjutan pasien
6.          Ajarkan pasien mencuci tangan, kebersihan diri, kebutuhan makanan dan minuman, mencuci tangan setelah BAB atau memegang feses.
Pengumpulan yang salah bisa merusak kuman patogen sehingga mempengaruhi diagnosis dan pengobatan
Anti infeksi harus segera diberikan untuk mencegah penyebaran ke pekerja, pasien lain dan kontak pasien.
Mencegah transmisi kuman patogen



Membatasi terpaparnya pasien pada kuman patogen lainnya.



Meyakinkan bahwa pasien diperiksa dan diobati.

Mencegah infeksi berulang
Resiko tinggi kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.

Keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan dengan kriteria turgor kulit normal, membran mukosa lembab, urine output normal, kadar darah sodium, kalium, magnesium dna kalsium dalam batas normal.
1.          Kaji tanda-tanda dehidrasi

2.          Berikan minuman per oral sesuai toleransi
3.          Atur pemberian cairan per infus sesuai order.
4.          Ukur semua cairan output (muntah, diare, urine. Ukur semua intake cairan.
Intervensi lebih dini


Mempertahankan intake yang adekuat
Melakukan rehidrasi


Meyakinkan keseimbangan antara intake dan ouput
Konstipasi berhubungan dengan invasi salmonella pada mukosa intestinal.

Pasien bebas dari konstipasi dengan kriteria feses lunak dan keluar dengan mudah, BAB tidak lebih dari 3 hari.
1.          Observasi feses
2.          Monitor tanda-tanda perforasi dan perdarahan
3.          Cek dan cegah terjadinya distensi abdominal
4.          Atur pemberian enema rendah atau glliserin sesuai order, jangan beri laksatif.
Mendeteksi adanya darah dalam feses
Untuk intervensi medis segera

Distensi yang tidak membaik akan memperburuk perforasi pada intestinal
Untuk menghilangkan distensi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar